Senin, 18 Januari 2010

Kakek Tua Di Pojokan Jalan

Sore itu, kumelangkahkan kakiku di kota ini bersama teman2. Kami sedang mentertawakan sesuatu. Kami melupakan penat yang kami punya di pikiran S(@#$^@$#%^n ini. Kami melupakan betapa menjemukkan kuliah kami masing-masing, kami melupakan masalah rumah kami, kami melupakan tugas-tugas kuliah kami. Kami hanya tertawa dan bersorak kegirangan.

Mungkin mulut kami sudah kering karna saking banyaknya bahan en topik yang dibicarakan. Jika di uangkan per huruf, masing2 kami adalah kaya raya melebihi kekayaan Bill Gates

Sudah hampir sejaman kami melakukan kegiatan ini. Entah kami masuk dan keluar di setiap toko sepanjang jalan itu. Sore ini adalah milik kaki2 jenjang kami. Terserah kaki ini mau melangkah kemana aja. Yang penting kami bisa melepaskan beban yang menimpa ini.

Tak terasa kami telah sampai di jalan itu. Dan suasana di sini sangat sepi. hanya ada setumpuk kotoran dipojokan sana, sampah yang menggunung tinggi di tong sampah, dan dimana-mana hanya ada kubangan becek. Tempat ini sangat kotor. Tempat ini sangat tidak pantas untuk dijadikan tempat tinggal. Dan sekelebatan kami melihat banyak sekali tikus yang berlarian kesana kemari.

Kami pun melanjutkan perjalanan ini. Dan kami mentertawakan lorong di blok itu. Kami gunakan lorong itu sebagai bahan tertawaan yang baru. Kami mentertawakan apa saja.

Kotoran yang menumpuk, sampah yang menggunung, sampai lalu lintas tikus2 yang kami asumsikan sebagai kereta api hitam dari garbage island dijadikan bahan lelucon yang membuat kami terbahak-bahak.

Namun, tak jauh dari tempat sampah besar itu, aku melihat sesuatu. Aku ngga tau sesuatu itu benda hidup ato benda yang mati. Siluetnya besar dan bergerak teratur..

Kotor, lusuh, dan jorok..

Apakah itu? Batinku...

Lalu semakin lama kumenatap ke arah itu, semakin ku menyadari bahwa 'itu' adalah seorang manusia. Dan manusia itu telah tua. Iya, dia memiliki uban yang sangat lebat. Kakek itu sedang tertidur pulas. Awalnya aku agak takut mengira kakek ini adalah orang jahat yang siap2 menringkus korbannya secara tiba2 (maklum, korban sinetron2 Indonesia...). Tapi yang kulihat sore itu adalah bukan sesosok penjahat...

Dia adalah seorang tua yang hanya mengenakan pakaian seadanya. Giginya sangat ompong, pakaiannya juga lusuh tak terpelihara. Ngga tau lagi dimana istri ato keluarga besarnya. Bahkan alas sepatupun tak ada. Kulit yang semakin keripun menandakan bahwa orang ini telah mengalami banyak hal dalam hidupnya. Hal yang membahagiakan juga hal yang mengharukan serta menyedihkan. 

Kakek kembali bernafas pelan. Dan ketika dia memalingkan badannya, aku melihat sebuah papan nama. Dan papan nama ini juga sama lusuhnya dengan tuannya. Tulisannya meskipun agak samar tapi masih jelas terbaca...."Pijat Refleksi"

Oh My God, kakek adalah seorang pemijat keliling...

Muka kecapean, beberapa butir keringat yang masih menetes, baju yang basah karna keringat itu, kaki yang mungkin sudah kapalan, atau bau dekil, daki yang ada di tubuh kakek ini.. 

Ya Tuhan, aku saat itu hanya bisa menutup mulutku dengan kedua tangan ini. Aku ngga tau lagi harus berkata apa waktu itu. Aku hanya trenyuh melihat landscape menyedihkan ini. Ada rasa iba melihat pemandangan memilukan seperti ini. Aku ngga bisa bayangin berapa kilometer yang telah ditempuh kakek hanya demi mencari konsumen (yang mungkin telah lari menjauh duluan melihat kedatangan kakek karena mungkin dikira orang jahat). Berapa banyak tangan yang menolak dia? Berapa banyak orang yang mencibir dia? Berapa banyak orang yang menganggap dia orang gila, atau bahkan memandang dia sebagai sampah masyarakat??

Aku ingin melakukan sesuatu buat kakek. Sungguh, aku ingin bertemu dengan dia, atau minimal melihat dia lebih dekat lagi. Tapi sore itu aku hanya berdiri dan menatapnya iba. Hanya iba, tanpa melakukan apa2 sampai suara teman2 memangil menyadarkanku dari keadaan transku ini...



Dan kini, subuh hampir tiba aku masih belum dapat memejamkan mata. Dan secara tiba2 memori tentang si Kakek kembali meliputiku. Aku kembali menggali kenangan itu.

Perasaan bersalah mulai berkecamuk di dada ini. Kenapa kemaren aku ngga ngelakuin sesuatu?? Kenapa kemaren aku hanya melihat dan melihat?? Aku bisa saja membelikan kakek itu nasi bungkus di warung terdekat. Sapa tau kakek itu belom makan. Ah, betapa bodohnya aku...

(Jujur, disaat aku menulis blog ini, air mataku sempat tumpah...)

Kakek, dimanapun kakek berada saat ini, aku yakin Tuhan sedang menjaga kakek. Kakek jangan menyerah disana ya.. Aku yakin, rancanganNYA indah buat kakek.

Guys, pernah ngga kita berpikir seperti kakek? Kita ngawatirin makanan apa yang bakal kita makan siang, sore, en malam nanti?? Kita pernah ngawatirin seberapa uang yang bisa kita simpen buat masa depan kita? Ato, pernah ngga kita berpikir untuk bisa tidur di tempat nyaman??
Aku rasa ngga!! Kita ngga pernah mikirin seperti itu. Karna bagi kita, semuanya telah tersedia dan hidup yang kita jalanin adalah hidup yang nyaman. Hidup yang berkat orang tua kita masing2, bisa kita nikmatin sampe detik ini (detik kalian baca blog ini). Kadang kita ngga pernah berpikir bagaimana nasib sodara2 kita di jalanan sana. Kita hanya terfokus ama kita, kita dan kita. Guys, is that true??

Kini, (setidaknya malam ini) aku mau bersyukur atas apa yang ada saat ini. Aku masih memiliki tempat untukberteduh dari hujan dan panas. Aku masih punya makanan yang enak untuk dimakan dan masih punya stok persediaan baju yang bisa ku pakai kapan saja dimana saja. 

Untuk itu aku ingin mengucapkan trima kasih kepada kedua orang tuaku yang masih hidup buatku, yang masih menyediakan segala sesuatunya bagiku. Thanks mom, thanks dad.. Love you guys always...

Kini, aku mau menggunakan semua yang kumiliki untuk tujuan yang bagus, mulia dan benar untuk masa depanku. Trima kasih buat Kakek yang telah mengajarkan aku untuk tetap hidup dari melihat hal yang mungkin terluput dari mataku sendiri. Terima kasih buat kakek karena dia yang telah membuka mataku atas semua berkat yang telah diberikan kepadaku ini.

Terima Kasih kek, terima kasih banyak....

Yuk, kita liat diri kita masing-masing...

GBU, FOLKS